Berikut bahan kuliah Biofarmasi dan farmakokinetika yang penulis dapatkan waktu perkuliahan. Tulisan berikut adalah tulisan dosen dari punilis sendiri. Semoga menjadi amal kebaikan yang tiada henti untuk dosen yang menulis dimanapun beliau berada.Aminn....
Keterbatasan waktu membuat penulis tidak sempat melampirkan foto satu persatu. Untuk mendapatkan file PDF nya silahkan lihat di akhir tulisan,
BAB I.
PENGANTAR
BIOFARMASI DAN FARMAKOKINETIKA
Ilmu biofarmasi dan farmakokinetika obat dan produk obat
bermanfaat untuk memahami hubungan antara sifat-sifat fisikokimia dari produk
obat dan efek farmakologik atau klinik. Dalam usaha menjelaskan fenomena
tersebut, maka banyak dilakukan penelitian menyangkut pemilihan bahan baku dan
sifat-sifat komponen bahan yang dipakai dalam suatu sediaan. Sifat-sifat
fisikokimia yang dihasilkan seperti terjadinya polimorfi, bentuk solvat,
hidrat, dan kehalusan ukuran partikel diselidiki dengan seksama. Komposisi
bahan dan teknik pencampuran dengan bahan tambahan juga akan mempengaruhi
sifat-sifat fisikokimia bahan obat sehingga berpengaruh terhadap pelepasan, dan
pelarutan bahan obat dari sediaan tersebut. Nasib obat yang dilepaskan dari
sediaan, yang berupa kompleks,
penguraian, pasangan ion dan lain-lain dalam saluran cerna maupun dalam cairan
tempat pemberian lain juga dipelajari
dengan baik.
Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik
melalui suatu rangkaian proses yang meliputi desintegrasi produk obat yang
diikuti pelepasan obat, pelarutan obat dalam media air dan absorpsi melewati
membran sel menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses tersebut, kecepatan obat
mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh tahapan yang paling lambat. Untuk
obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, tahap yang paling lambat
adalah laju pelarutan, sehingga
merupakan efek penentu kecepatan terhadap ketersediaanhayati obat.
Tetapi sebaliknya untuk obat yang mempunyai kelarutan air yang besar, laju
pelarutannya cepat sedangkan laju pelintasan lewat membran merupakan tahap yang
paling lambat dan merupakan penentu kecepatan.
Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan
atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel. Terdapat
beberapa teori mengenai struktur membran sel, termasuk model unit membran dan
model mosaik cair dinamik. Pada umumnya membran sel mempunyai struktur
lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid semipermeabel. Berbagai penyelidikan
telah dilakukan menggunakan obat dengan berbeda struktur dan sifat fisikokimia
dan dengan bermacam-macam membran sel, sebagai hasilnya diketahui mekanisme
pengangkutan beberapa obat lewat membran sel. Salah satu temuan menunjukkan
bahwa beberapa sifat fisikokimia molekul mempunyai pengaruh terhadap laju
lintas obat lewat membran sel. Faktor utama adalah kelarutan molekul obat dalam
lemak. Obat-obat yang lebih larut dalam lemak lebih mudah melewati membran sel
daripada obat yang kurang larut dalam lemak atau obat yang lebih larut dalam
air.
Istilah ketersediaanhayati zat aktif suatu obat timbul
sejak adanya ketidaksetaraan terapetik di antara sediaan bermerek dagang yang
zat aktif sama dan dibuat dalam bentuk sediaan farmasetik yang serupa, serta
diberikan dengan dosis yang sama. Ketersediaanhayati merupakan laju dan jumlah
obat yang mencapai sistem sirkulasi sistemik, yang secara keseluruhan
menunjukkan kinetika dan perbandingan zat aktif yang mencapai peredaran darah
terhadap jumlah obat yang diberikan.
Tujuan pengamatan ketersediaanhayati obat sesungguhnya
antara lain agar suatu produk obat mampu memberikan efek terapi yang optimal
kepada pemakai obat, dalam arti suatu produk obat akan cepat dan mempunyai
kemampuan untuk mengobati suatu penyakit yang diderita, sehingga efektivitas
pengobatan dicapai dengan baik. Selain itu ketersediaanhayati juga menekankan
tentang pembatasan atau pengaturan
pemakaian obat agar keamanan pemakaian obat dapat terjamin dan terhindar dari
pengaruh toksik atau efek yang tak dikehendaki.Untuk itu perlu diketahui
sejauhmana dan bagaimana obat telah tersedia di dalam darah agar mampu
memberikan respons klinik yang sesuai, baik sebagai zat aktif tunggal maupun
kombinasi beberapa zat aktif dari suatu
produk obat.
Bioekivalensi mengindikasikan bahwa suatu obat dalam dua
atau lebih bentuk dosis yang sama mencapai sirkulasi umum pada tingkat laju
relatif yang sama dan keberadaan relatif yang sama. Alasan utama dilakukannya
studi bioekivalensi disebabkan oleh produk obat yang dianggap ekivalen
farmasetik tidak memberikan efek terapetik yang sebanding pada penderita.
Sejumlah penelitian mengungkapkan, beberapa produk obat yang mempunyai
ekivalensi kimiawi dan ekivalensi farmasetik, namun diantara beberapa produk
itu tidak memberikan bioekivalensi. Ketidak-bioekivalensi-an ini menimbulkan
persoalan serius dalam bidang pengobatan, yakni apabila masing-masing produk
obat belum diketahui ketersediaanhayatinya, sehingga penggantian suatu produk
obat dengan produk lain dapat membawa resiko kepada pemakai obat. Selain itu,
juga diketahui bahwa adanya ketidak-bioekivalensi-an obat antar batch dari
produk obat pada pabrik yang sama. Sehingga perlu pemikiran dan kehati-hatian
produsen dalam mempro-duksi obat,untuk menjaga stabilitas fisikokimia dan
ketersediaanhayati secara bersamaan.
Farmakokinetika
Farmakokinetika pertama kali diperkenalkan oleh Dost
(1953) sebagai suatu analisa matematik tentang kuantitas dan aktivitas obat dalam
tubuh. Definisi ini diperjelas oleh Greenblatt dan Koch-Weser (1975) yang
dinyatakan sebagai suatu studi
kuantitatif proses metabolik dari absorpsi, distribusi, biotransformasi dan
eliminasi obat.
Penggunaan model
matematik disini untuk menggambarkan dan
meramalkan proses-peoses metabolik tersebut yang menyangkut kadar obat
dalam berbagai bagian tubuh sebagai fungsi dari dosis, serta cara dan waktu
pemberian obat.
Beberapa konsep penting dari farmakokinetika seperti waktu paruh
biologik, total bersihan (klirens), volume distribusi dan ketersediaanhayati
suatu obat dapat dipergunakan untuk menggambarkan dan meramalkan hubungan
antara waktu dan perubahan kadar obat setiap saat di dalam plasma sebagai
fungsi dosis serta frekuensi pemberian obat. Dengan parameter-parameter
tersebut dapat dikarakterisasikan wujud pengobatan secara individual, terutama
dalam pengaturan dosis regimen yang sistematis antara lain mencakup jumlah obat
(dose size), dosis muatan (loading dose), dosis pemeliharaan (maintenance
dose) dan interval waktu pemberian untuk mencapai hasil klinis atau
mempertahankan kadar terapetis obat dalam tubuh yang optimal.
Telah
diketahui bahwa efek farmakologis suatu obat disebabkan karena hasil reaksi
antara obat dengan reseptor. Pada umumnya suatu hal yang mustahil untuk dapat
menentukan kadar obat di tempat reseptor pada manusia. Akan tetapi bahwa hampir
semua jaringan tubuh disuplai dengan plasma dan tampak adanya hubungan nyata
antara kadar obat dalam plasma dan kadar obat dalam biofase (reseptor),
meskipun hubungan ini agak kompleks; kadar obat dalam plasma relatif mudah
diukur.
Bila
suatu obat diberikan kepada manusia atau hewan terjadi proses absorpsi,
distribusi, biotranspormasi dan eliminasi dimana proses ini dapat terjadi
secara bersamaan, maka kadar obat dalam plasma maupun biofase akan berubah
menurut waktu. Hal ini mengakibatkan efek atau intensitas farmakologik juga
berubah. Dengan perkataan lain,
perubahan obat dalam plasma akan mempengaruhi kerja obat.
Atas
dasar ini, informasi mengenai kinetika obat di dalam tubuh sangat berguna untuk
dipelajari, oleh karena data-data farmakokinetika akan sangat membantu dan
bermanfaat dalam mewujudkan terapi obat yang optimal dan rasional dengan
pemilihan dan penggunaan obat yang tepat dan pengaturan dosis regimen yang
sesuai. Dengan demikian tujuan studi farmakokinetika suatu obat ialah
mempelajari disposisi dan nasib obat
dalam tubuh, dengan membentuk model farmakikinetika yang sesuai untuk dapat
menginterpretasikan data-data yang diperoleh, serta hubungan antara respon
farmako-logik dan kadar obat atau metabolitnya dalam cairan tubuh.
Farmakokinetika : mempelajari kinetika
absorpsi, distribusi, eliminasi (yaitu : metabolis-me dan ekskresi) obat.
Pelepasan dan Absorpsi Obat
dalam sir- Distribusi Obat
dalam
pelarutan obat kulasi sistemik jaringan
Eliminasi
Ekskresi dan
Efek Farmako-
Metabolisme logis & klinis
Hal ini perlu kita pelajari untuk menilai availabilitas (relatif) obat
dengan membandingkan respon farmakologik yang khas, respon klinik ataupun
respon toksiknya. Misalnya : ada obat (isoproterenol) yang menyebabkan kenaikan
denyut jantung bila diberikan intravena, tetapi tidak menunjukkan efek yang
teramati pada jantung jika diberikan secara oral, dengan dosis yang sama. Oleh
karena itu, availabilitas sistemik obat dapat berbeda menurut rute
pemberiannya. Disamping itu, ada 2 produk obat berbeda yang berisi bahan obat
dan dosis serta pemberian yang sama mempunyai bioavailabilitas berbeda dan
berakibat adanya perbedaan dalam aktivitas terapetik antara kedua obat. Dengan
demikian, perbedaan bioavailabilitas secara kasar dapat diamati dengan mengukur
efek terapetik atau efek toksiknya.
Sekarang ini terdapat berbagai
metoda analisis (yang peka, teliti dan tepat) untuk pengukuran langsung
obat-obat dalam cuplikan biologik, seperti pada plasma dan urin. Dimana oleh
ahli farmakokinetika dapat menggunakan cara pengukuran kadar ini untuk
menggambarkan perbedaan bioavailabilitas antara obat-obat dan produk obat
dengan lebih teliti.
Selama obat diabsorpsi ke dalam sirkulasi sistemik, obat
didisribusikan ke semua jaringan dalam tubuh dan juga secara serentak
dieliminasi (yakni ekskresi dan biotransformasi). Hubungan kurva kadar obat dalam plasma dengan
waktu, serta berbagai parameter farmakologinya, dapat dilihat pada gambar
berikut :
Kurva kadar obat dalam plasma-waktu
Dengan menganggap konsentrasi obat
dalam plasma berkeseimbangan dengan obat dalam jaringan, maka :
Kadar efektif minimum adalah konsentrasi obat dalam jaringan yang diperlukan oleh reseptor
untuk menghasilkan efek farmakologis yang diinginkan .
Kadar toksik minimum adalah konsentrasi obat yang diperlukan untuk mulai menghasil-kan suatu
efek toksik.
Waktu mula kerja adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai
kadar efektif minimum.
Intensitas efek farmakologik adalah sebanding dengan jumlah
reseptor obat yang ditempati, dimana kadar obat dalam plasma yang tinggi
menghasilkan respons farmakologik yang lebih besar, hingga kondisi maksimum.
Lama kerja obat adalah selisih waktu antara waktu mula kerja
obat dengan waktu yang diperlukan oleh obat turun kembali ke kadar efektif
minimum.
Waktu kadar puncak adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai
kadar obat maksimum dalam plasma (yang secara kasar sebanding dengan laju
absorpsi obat rata-rata).
Kadar puncak dalam plasma (kadar maksimum obat) biasa
dikaitkan dengan dosis, tetapan laju absorpsi dan eliminasi obat, sedang, luas
daerah di bawah kurva (AUC) dikaitkan dengan jumlah obat yang terabsorpsi
secara sistemik.
Makna
pengukuran konsentrasi obat dalam plasma :
Intensitas efek farmakologik atau
toksik suatu obat sering dikaitkan dengan konsentrasi obat pada reseptor yang
biasanya terdapat dalam sel-sel jaringan. Oleh karena sebagian besar sel-sel
jaringan diperfusi oleh cairan jaringan atau plasma, maka pemeriksaan kadar
obat dalam plasma merupakan suatu metode yang sesuai untuk pemantauan
pengobatan.
Secara klinik, perbedaan individual dalam
farmakokinetika obat sering terjadi :
a.
Untuk beberapa obat, kepekaan
reseptor pada individu berbeda, sehingga monitor kadar obat dalam plasma
diperlukan untuk membedakan penderita yang menerima terlalu banyak obat dengan penderita yang sangat peka
terhadap obat.
- Fungsi
fisiologik penderita dapat dipengaruhi oleh penyakit, makanan, lingkungan,
obat yang dipakai bersamaan dan faktor-faktor lain.
Untuk menggunakan data
farmakokinetika secara tepat, penting diketahui kapan cuplikan darah
diambil, berapa dosis yang diberikan dan bagaimana rute pemberiannya.
Guna pengukuran tersebut di atas memungkinkan
untuk penyesuaian dosis obat secara individual dan untuk pengoptimasian terapi,
namun secara klinis keputusan dan pengamatan medik adalah paling penting
sebagai keputusan terapi dan janganlah semata-mata didasarkan pada konsentrasi
obat dalam plasma.
Model
Farmakokinetika
Seperti kita ketahui suatu obat berada dalam keadaan dinamik pada tubuh,
dimana dalam suatu sistem biologik peristiwa-peristiwa yang dialami obat sering
terjadi secara serentak. Dalam menggambarkan sistem biologi yang kompleks
tersebut, dibuat penyederhanaan anggapan mengenai pergerakan obat.
Suatu hipotesis atau model disusun dengan istilah
matematis. Dimana model tersebut dirancang untuk meniru proses : laju
absorpsi, distribusi dan eliminasi obat.
Model
farmakokinetika berguna untuk :
1.
memprakirakan kadar obat dalam plasma, jaringan dan urin pada berbagai
pengaturan dosis.
2.
menghitung pengaturan dosis optimum untuk tiap penderita secara individu
3.
memprakirakan kemungkinan akumulasi obat dan atau metabolit-metabolitnya
4.
menghubungkan konsentrasi obat dengan aktivitas farmakologi dan toksikologinya
5.
menilai tingkat laju atau tingkat availabilitas antar formulasi (bioekivalensi)
6. menggambarkan
perubahan faal atau penyakit yang mempengaruhi absorpsi, distribu-si,
metabolisme dan ekskresi obat
7.
menjelaskan interaksi obat.
Biasanya model farmakokinetika perlu
dilakukan pengujian, apakah sudah sesuai atau belum denga kriteria statistik
yaitu :
-
jumlah
kuadrat penyimpangan antara dua percobaan
-
harga
hitungan yang didapat dari model
sejauh mana kecocokan model dengan data.
Model kompartemen
Tubuh
dapat dinyatakan sebagai suatu susunan atau sistem dari kompartemen-kompartemen
yang berhubungan timbal balik satu dengan yang lain. Dalam masing kompartemen
obat dianggap didistribusikan secara merata. Model kompartemen didasarkan atas
anggapan linier yang menggunakan persamaan diferensial linier.
Model merupakan sistem yang terbuka
jika obat dapat dieliminasi dari sistem.
Model Mammillary
Model
mammilary merupakan model kompartemen yang paling umum digunakan dalam
farmakokinetika. Model ini terdiri atas satu atau lebih kompartemen perifer
yang dihubungkan dengan kompartemen sentral.
a. model kompartemen satu terbuka injeksi
intravena
1 K
b. model kompartemen satu terbuka dengan
absorpsi order kesatu
Ka K
1
c. model kompartemen dua terbuka injeksi
intravena
1 K12 2
K21
K
d. model kompartemen dua terbuka dengan
absorpsi order ke satu.
K12
Ka 1 K21 2
K
Pengambilan model ini mempunyai 3
kegunaan :
1.
memungkinkan untuk merumuskan persamaan diferensial untuk menggambarkan perubahan
konsentrasi obat dalam masing-masing kompartemen.
2. memberikan suatu gambaran nyata dari laju
proses dan
3.
menunjukkan berapa banyak tetapan farmakokinetika yang di perlukan untuk meng-gambarkan
proses secara memadai.
Ada dua parameter yang
diperlukan untuk menggambarkan model a. yaitu, volume kompartemen dan tetapan
laju eliminasi K. Sedangkan pada kasus
model d. parameter farmakokinetikanya terdiri dari volume kompartemen 1 &
2, tetapan laju Ka,K, K12 dan K21, total 6 parameter.
Untuk mempelajari model ini, penting diketahui apakah data
konsentrasi obat dapat diperoleh secara langsung dari masing-masing
kompartemen. Pada model c dan d, data dari kompartemen 2 tak dapat diperoleh
dengan mudah (karena tidak mudah pengambilan cuplikannya) disamping konsentrasi
obat yang tidak homogen. Jika jumlah obat terabsorpsi dan tereliminasi
persatuan waktu di dapat dari cuplikan kompartemen 1, maka jumlah obat yang
berada dalam jaringan dapat diperkirakan secara matematik.
Model Caternary
Model
ini terdiri atas kompartemen-kompartemen yang bergabung satu dengan yang lain
menjadi satu deretan. Model ini tidak dapat dipakai untuk sebagian besar organ
fungsional dalam tubuh yang secara langsung berhubungan dengan plasma.
1 K12 2 K23 3
Ka K21 K32
Model
Fisiologik/aliran/perfusi
Model fisiologik juga
dikenal sebagai model aliran darah atau perfusi, merupakan model farmakokinetik
yang didasarkan pada data anatomik dan fisiologik yang diketahui.
Perbedaan utama antara model perfusi dengan
kompartemen yang lain, sebagai berikut :
1. tidak
dibutuhkan data yang tepat dalam model perfusi. Konsentrasi obat dalam berbagai
jaringan diperkirakan melalui ukuran jaringan organ, aliran darah dan melalui
percobaan ditentukan perbandingan obat dalam jaringan-darah (yaitu, partisi
obat antara jaringan-darah).
2.
aliran darah, ukuran jaringan dan perbandingan obat dalam jaringan-darah dapat
berbe-da sehubugan dengan kondisi fisiologik tertentu. Oleh karena itu dalam
model fisio-logik, pengaruh perubahan-perubahan terhadap distribusi obat harus
diperhitungkan.
3.
Model fisiologik ini dapat diterapkan pada beberapa spesies dan dengan beberapa
data obat pada manusia dapat diekstrapolasikan.
injeksi
i.v.
Da- jantung Da-
rah otot
rah RET = Rapidly equilibrating tissue
Ve- SET ar-
na RET te- SET
= Slowly equilibrating tissue
ginjal
ri
liver
BAB II.
MEMBRAN BIOLOGIS DAN MEKANISME ABSORPSI
Aktivitas atau toksisitas suatu obat
tergantung pada lama keberadaan dan perubahan zat aktif di dalam tubuh.
Penelitian tentang nasib obat dalam tubuh merupakan rangkaian penyidikan yang
harus dilakukan untuk memahami suatu obat serta untuk memilih bentuk sediaan
yang sesuai agar diperoleh efek terapi yang dikehendaki.
Pada umumnya zat aktif suatu obat
akan menunjukkan efek farmakologi pada titik tangkap jaringan bila bahan
tersebut telah mencapai tempat tersebut dengan perantaraan darah. Peredaran
darah bagaikan lempeng berputar dari perjalanan obat . Fenomena penyerapan
sebagai tahap awal farmakokinetik, ditentukan oleh penembusan zat aktif ke
dalam darah yang selanjutnya oleh darah dihantarkan menuju sasaran kerja
farmakologik, mengalami perubahanhayati dan akhirnya ditiadakan.
Penetrasi zat aktif ke dalam sistem
peredaran darah pada proses penyerapan dan eliminasi zat aktif oleh proses
difusi, merupakan peristiwa yang selalu terjadi di dalam tubuh. Peristiwa ini
hampir selalu dialami oleh setiap zat aktif, walaupun berbeda untuk setiap
bahan, namun sama dalam hal pelintasan membran biologik. Dengan demikian,
sebelum membahas berbagai fasa perubahan obat di dalam tubuh, maka akan
dibicarakan terlebih dahulu keadaan membran biologik dan mekanisme penembusan
zat aktif.
2.1. Membran Biologis
Agar suatu obat dapat diabsorpsi
lalu didistribusikan sampai mencapai tempat kerja dijaringan atau organ, begitu
juga sebelum mengalami metabolisme dan eliminasi, obat tersebut harus melewati
berbagai membran biologis. Lapisan
membran tersebut dapat merupakan sejumlah lapisan sel atau hanya satu lapisan
sel basal bahkan ada yang berukuran lebih kecil dari sel sendiri,seperti
membran antar sel atau pembatas organ interseluler. Namun perbedaan ini
merupakan kesamaan satuan struktur pada semua membran baik pada manusia, hewan
atau tanaman.
Kemajuan teknik pengamatan telah
menuntun berkembangnya pengetahuan tentang sifat alami dan struktur membran.
Adanya mikroskop elektron, membuat kita dapat melihat membran secara tiga
dimensi asimetrik, terdiri atas dua lapisan yang samar dengan ketebalan yang
berbeda dan ditutupi oleh lapisan bening. Secara keseluruhan tebal membran ini
bervariasi antara 70 sampai 100 Ao.
Membran merupakan suatu lipida
protein alami sebagai gabungan molekul penyusun yang mengalami banyak
perubahan. Sejak Overton (1902) menemukan adanya membran lipida esensial,
dilanjutkan dengan penelitian Davson dan Danielli (1936-1943) juga Stein dan
Danielli (1956) mengemukakan model membran sebagai suatu lembaran lipida protein.
Model membran ini terdiri atas dua lapis lipida monomolekuler terutama terdiri
atas fosfolipida dan kolesterol, yang gugus hidrofobnya menghadap ke bagian
dalam dan gugus hidrofilnya yang berupa
protein berada di fase berair. Dua gugus hidrofil yang mengandung protein dan
ujung fosfolipida yang polar (salah satunya mempunyai lapisan protein globuler)
mengelilingi daerah pusat hidrofob. Model berlapis ini relatif dapat diterapkan
pada berbagai sifat membran.
Konsep Stein dan Danielli Konsep model mosaik Sager dan Nocholson
Suatu model dinamik yang lebih baik menurut Sager dan
Nocholson (1972) merupakan konsep yang kini diterima dan disebut sebagai konsep
model mosaik cair. Dalam konsep ini, matriks membran terdiri atas dua lapisan
lipida protein globuler yang tidak berkesinambungan dan saling menyesuaikan
menurut susunan yang teratur atau tidak teratur. Gugusan polarnya terletak pada
permukaan membran yang kontak dengan cairan intra dan ekstraseluler, sedangkan
gugus nonpolarnya menghadap ke arah dalam.
2.2. Mekanisme absorpsi dan pelintasan melewati membran
biologis
Absorpsi suatu obat dari tempat
pemberian ke dalam sirkulasi sistemik, dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik
dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia molekul obat atau
produk obat. Terdapat sejumlah fenomena pengangkutan fisiologik yang
mempengaruhi proses pelintasan zat aktif melalui membran.
Difusi Pasif. Difusi pasif merupakan bagian
terbesar dari proses pelintasan membran bagi umumnya zat aktif. Tenaga pendorong
untuk difusi pasif ini adalah perbedaan konsentrasi zat aktif pada kedua sisi
membran. Molekul zat aktif berdifusi dari daerah dengan konsentrasi tinggi ke
daerah dengan konsentrasi rendah.
Oleh karena zat aktif didistribusi
dengan cepat ke dalam suatu volume yang besar sesudah masuk ke dalam darah,
konsentrasi zat aktif di dalam darah menjadi sangat rendah dibandingkan dengan
konsentrasi zat aktif di tempat pemakaian. Biasanya suatu obat diberikan dalam
dosis miligram, sedangkan konsentrasi dalam plasma seringkali dalam besaran
mikrogram bahkan ada yang nanogram per mililiter, sehingga perbedaan
konsentrasi yang besar ini berperan sebagai daya penggerak selama proses
absorpsi.
Selain perbedaan konsentrasi, hukum
difusi Fick memperlihatkan beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi laju
difusi pasif zat aktif, diantaranya koefisien
partisi (yang menyatakan partisi obat dalam minyak-air), dimana zat aktif
yang lebih larut dalam lemak mempunyai koefisien partisi yang lebih besar,
sehingga sampai batasan tertentu akan menambah laju absorpsi. Luas permukaan dan tebal membran juga mempengaruhi laju absorpsi zat aktif. Oleh sebab
itu, pada saluran cerna sebagian besar zat aktif diabsorpsi paling cepat pada
daerah duodeum dari usus halus, karena adanya vili dan mikrovili yang menambah
besarnya luas permukaan. Vili-vili ini tidak terdapat pada daerah saluran cerna
lain. Selanjutnya absorpsi obat melalui difusi pasif dipengaruhi oleh koefisien difusi zat aktif, yang
merupakan suatu tetapan untuk setiap zat aktif dan ditakrifkan sebagai jumlah
molekul zat aktif yang berdifusi melewati suatu membran dengan luas tertentu
untuk tiap satuan waktu.
Transpor aktif. Transpor aktif adalah cara
pelintasan transmembran yang sangat berbeda dengan difusi pasif. Pada transpor
aktif, pelintasan terjadi dengan diperantarai oleh pembawa (carrier) yang
berupa enzim, atau paling tidak senyawa protein dengan molekul yang dapat
membentuk kompleks dengan zat aktif pada permukaan membran. Kompleks tersebut
melintasi membran dan membebaskan molekul zat aktif pada permukaan lain, lalu
pembawa kembali ke permukaan asalnya
Transpor aktif dengan pembawa dan hidrolisis ATP sebagai sumber energi
Sistem transpor aktif bersifat
jenuh, dimana jika semua molekul pembawa telah ditempati maka kapasitas
maksimumnya telah tercapai. Dalam sistem ini memperlihatkan adanya suatu
kekhususan untuk setiap molekul atau kelompok molekul, dan akibatnya dapat
terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas sama pada pembawa. Molekul
yang mempunyai afinitas tinggi akan berkompetisi dan menghambat transpor dari
molekul dengan afinitas lebih rendah.
Transpor aktif ditandai dengan adanya perpindahan molekul
zat aktif melawan perbedaan konsentrasi, yakni dari daerah konsentrasi rendah
ke daerah konsentrasi tinggi. Oleh karenanya proses ini merupakan sistem yang
memerlukan energi. Energi ini diperoleh dari hidrolisis adensin trifosfat (ATP)
dibawah pengaruh suatu ATP-ase. Jadi semua senyawa yang menghambat reaksi
pembebasan energi akan mempengaruhi transpor aktif.
Transpor melalui pori. Sistem transpor ini sering juga disebut dengan sistem filtrasi atau
difusi konveksi. Molekul-molekul yang sangat kecil seperti urea dan gula dapat
melintasi membran sel dengan cepat melalui celah atau pori-pori membran. Penembusan
air terjadi karena adanya perbedaan hidrostatik atau osmotik; semua senyawa
yang berukuran kecil dan larut dalam air dapat melewati pori ini. Sebagian
besar membran seluler mempunyai pori berukuran 4-7 Ao dan hanya
dapat dilintasi oleh molekul dengan berat molekul lebih kecil dari 150 bila
berbentuk bulat atau lebih kecil dari 400 bila molekulnya terdiri dari rantai
panjang. Namun dalam proses filtrasi glomerulus, sel-sel endotelium vaskuler
mempunyai ukuran pori yang lebih besar dari 40 Ao, sehingga dapat
dilalui cairan yng mengandung molekul-molekul dengan berat molekul yang lebih
tinggi.
Transpor melalui pori
Transpor pasangan ion. Transpor pasangan ion merupakan suatu cara pelintasan membran untuk
senyawa yang sangat mudah terionkan pada pH fisiologik, misalnya amonium
kuarterner. Pelintasan terjadi dengan pembentukan kokpleks yang netral
(pasangan ion) dengan senywa endogen, dengan demikian memungkinkan terjadinya
difusi pasif kompleks tersebut melalui membran.
Transpor pasangan ion
Difusi yang difasilitasi. Difusi yang difasilitasi juga merupakan sistem transmembran yang
diperantarai oleh pembawa, namun berbeda dengan transpor aktif, pada sistem ini
tidak diperlukan energi, sebab pelintasan zat aktif digerakkan oleh perbedaan
konsentrasi. Oleh karena sistem ini diperantarai oleh pembawa, maka sistem
transpor ini dapat jenuh dan secara struktur selektif bagi senyawa tertentu dan
memperlihatkan persaingan untuk senyawa dengan struktur yang serupa.
Difusi
yang difasilitasi Pinositosis
Pinositosis. Pinositosis merupakan suatu proses pelintasan membran oleh
molekul-molekul besar dan terutama molekul yang tidak larut. Pelintasan membran
terjadi dengan proses pencaplokan terhadap makromolekul, dimana membran sel
menyelubungi sekeliling bahan makromolekul membentuk bintil (vesikula) dan
kemudian membawanya melintasi membran. Mekanisme ini mirip dengan fagositosis
bakteri oleh lekosit. Absorpsi vitamin A, D, E dan K memasuki sistem
sirkulasi melalui proses pelintasan ini.
BAB III.
PELEPASAN, PELARUTAN DAN ABSORPSI OBAT.
Di dalam merancang suatu produk obat
yang akan melepaskan zat aktif dalam bentuk yang paling cepat dan banyak berada
dalam sirkulasi sistemik, seorang farmasis harus mempertimbangkan jenis produk
obat, sifat bahan tambahan dalam produk obat, dan sifat-sifat fisikokimia zat
aktif itu sendiri. Selain itu, ketersediaanhayati zat aktif dalam bentuk
sediaan padat bergantung pada beberapa faktor yang meliputi (1) desintegrasi
produk obat dan pelepasan partikel zat aktif; (2) pelarutan zat aktif dan (3)
absorpsi atau permeasi zat aktif melintasi membran sel.
Produk obat yang berupa tablet atau kapsul setelah kontak dengan cairan tubuh
akan mengalami peristiwa seperti digambarkan dalam bagan berikut :
Tablet
Desintegrasi Granul Desagregasi Partikel
(Kapsul) (Agregat) halus
disolusi
(k1) disolusi (k2) disolusi (k3)
Zat aktif dalam larutan
(in
vitro / in vivo)
absorpsi
Zat aktif dalam darah/
jaringan/cairan tubuh lain
Bagan Peristiwa hancurnya tablet atau kapsul
setelah kontak dengan cairan tubuh.
Setelah kontak dengan cairan tubuh, mula-mula
tablet akan mengalami proses desintegrasi, yaitu hancur menjadi bentuk granul
atau agregat. Lalu diteruskan dengan deagregasi, berupa hancurnya agregat
menjadi partikel penyusun. Namun secara bersamaan baik langsung dari bentuk
tablet, dari granul, ataupun dari partikel halus, zat aktif mengalami proses
disolusi dengan kecepatan masing-masing : k1, k2 dan k3,
dimana besarnya k1 << k2 << k3. Bila
kecepatan pelarutan k1+k2+k3 jauh lebih kecil
daripada kecepatan desintegrasi atau absorpsi (<1/20 kali) maka disolusi
merupakan faktor penentu absorpsi obat dlm tubuh.
Pelepasan (liberasi). Telah diketahui bahwa sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat
padat harus mengalami desintegrasi menjadi bentuk granul, dilanjutkan dengan
deagregasi menjadi partikel-partikel kecil dan melepaskan zat aktif. Proses
pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan cukup rumit dan tergantung pada cara
pemberian dan bentuk sediaan, dan dapat terjadi secara cepat dan lengkap.
Pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh keadaan lingkungan biologis dan mekanis
pada tempat pemberian obat, misalnya pada gerak peristaltik usus.
Untuk maksud pemantauan keseragaman desintegrasi tablet,
United State Pharmacopoeia (USP) menetapkan suatu uji desintegrasi yang resmi.
Desintegrasi yang sempurna ditakrifkan sebagai keadaan di mana berbagai residu
tabet, kecuali fragmen-fragmen penyalut yang tidak larut, tinggal dalam
saringan alat penguji sebagai masa yang lunak dan jelas tidak mempunyai inti
yang teraba. Walaupun uji desintegrasi memberikan pengukuran tepat pada
pembentukan fragmen, granul atau agregat dari bentuk sediaan padat, tetapi dari
uji ini tidak diperoleh informasi laju pelarutan dari zat aktif. Uji
desintegrasi dipakai sebagai suatu komponen dari keseluruhan pengendalian
kualitas fabrikasi tablet.
Pelarutan (disolusi). Pelarutan merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau zat aktif
menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Pada sistem biologis pelarutan obat dalam
media berair merupakan suatu yang penting sebelum terjadinya absorpsi sistemik.
Kecepatan pelarutan obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk
sediaan padat yang utuh atau terdesintegrasi dalam saluran cerna sering
mengendalikan kecepatan absorpsi sistemik.
Proses pelarutan ini juga terjadi
pada obat-obat yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak, tetapi
yang terjadi di sini adalah proses ekstraksi. Setelah pemberian sediaan larutan
secara in situ dapat timbul endapan
zat aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan pH dan endapan
tersebut selanjutnya akan melarut lagi. Dengan demikian pemberian sediaan
larutan tidak menjamin terjadinya absorpsi yang segera.
Absorpsi
(penyerapan). Yang dimaksud
dengan absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah masuknya molekul-molekul
obat ke dalam tubuh atau menuju peredaran darah setelah melewati membran
biologis. Absorpsi hanya dapat terjadi bila molekul zat aktif berada dalam
bentuk terlarut.
Tahap absorpsi ini merupakan bagian
dari fase biofarmasetik dan awal fase farmakokinetik, jadi tahap ini benar-benar
merupakan masuknya zat aktif dalam tubuh yang aturan-aturannya ditengarai oleh
pemahaman ketersediaanhayati. Penyerapan zat aktif ini tergantung pada berbagai
parameter, tergantung sifat fisikokimia molekul obat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan, pelarutan dan
absorpsi Obat.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa kecepatan absorpsi zat aktif
merupakan fungsi dari kecepatan pelarutan dan kelarutan zat aktif dalam cairan
tubuh, dengan demikian semua faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan
pelarutan juga akan mempengaruhi kecepatan absorpsi. Jadi untuk mempelajari
parameter-parameter yang berpengaruh pada proses pelarutan, maka harus dipahami
persamaan yang dikemukakan oleh Noyes dan Withney berikut ini :
dC/dt = k. S (Cs – C)
Keterangan:
dC/dt = jumlah zat yang terlarut
tiap satuan waktu
k = tetapan kecepatan
pelarutan
S = luas kontak muka
Cs = konsentrasi pada saat
jenuh
C = konsentrasi yang
terlarut pada saat t
Selain
sifat-sifat fisikokimia zat aktif, kecepatan pelarutan obat juga tak terlepas
dari pengaruh formulasi dan teknologi saat pembuatan, serta faktor
fisio-patologi pasien, sehingga ada beberapa faktor yang dapat dipaparkan
sebagai berikut :
a.
Sifat-sifat fisika kimia obat
Sifat
fisika dan kimia partikel obat padat sangat
berpengaruh pada kinetika pelarutan. Luas permukaan efektif partikel
obat dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Hal ini dikarenakan
pelarutan terjadi pada permukaan zat padat (solut), maka makin besar luas
permukaan makin cepat laju pelarutan. Bentuk geometrik partikel juga mempengaruhi
luas permukaan dan selama pelarutan permukaan berubah secara konstan. Dalam
perhitungan biasanya dianggap bahwa partikel solute mempertahankan bentuk
geometrik.
Derajat
kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju pelarutan. Pada umum-nya obat dalam bentuk garam yang dapat
terionisasi lebih larut dalam air daripada asam atau basa bebas. Dengan
demikian seorang farmasis dapat memanipulasi secara kimiawi menjadi berbagai
garam dan obat yang mempunyai rentang kelarutan, dari yang sangat mudah larut
dalam air sampai yang praktis tidak larut dalam air. Selain itu, jika obat
dalam bentuk anhidrat, maka laju pelarutan biasanya lebih cepat daripada obat
dalam bentuk garam hidrat.
Lebih
lanjut obat dapat berada dalam bentuk lebih dari satu jenis kristal yang
dikenal sebagai polimorfi. Polimorfi-polimorfi ini mempunyai struktur
kimia yang identik, tetapi menunjukkan
kinetika pelarutan yang berbeda. Pada umumnya struktur kristal lebih keras,
kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada obat dalam bentuk amorf.
Sehingga obat dalam bentuk amorf menunjukkan laju pelarutan yang lebih cepat
dibandingkan obat dalam bentuk kristal.
b.
Formulasi dan metode fabrikasi
Jumlah dan macam bahan tambahan
dalam produk obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat, dengan mengubah
media tempat obat melarut atau bereaksi dengan obat itu sendiri . Beberapa
bahan tambahan, seperti natrium bikarbonat, dapat mengubah pH media. Suatu obat
asam, seperti aspirin dengan media alkali akan menyebabkan obat melarut dengan
cepat dengan membentuk suatu garam yang larut dalam air. Proses jenis ini
disebut pelarutan dalam suatu media reaktif. Namun selama molekul obat terlarut
berdifusi keluar ke bagian besar pelarut, maka obat dapat mengendap kembali
dari larutan dengan ukuran partikel yang sangat kecil. Partikel-partikel ini
mempunyai luas permukaan kolektif yang sangat besar dan terdispersi dengan
mudah, mempunyai kesempatan kontak dengan membran usus dan terlarut kembali
dengan sempurna untuk diabsorpsi lebih cepat.
Perubahan bentuk zat aktif menjadi
senyawa kompleks, campuran eutektik, dispersi padat, dan penambahan surfaktan
juga akan berpengaruh terhadap sifat fisika kimia obat, seperti kelarutan,
kemampuan difusi dan koefisien partisi yang dapat mempengaruhi laju pelarutan.
Surfaktan dapat mempengaruhi laju pelarutan obat dengan suatu cara yang tidak
dapat diperkirakan. Surfaktan pada konsentrasi rendah menurunkan tegangan
permukaan dan menaikkan laju pelarutan obat, sedangkan pada konsnentrasi tinggi
surfaktan cenderung membentuk micell
dengan obat, sehingga menurunkan laju pelarutan. Bahan pelincir tablet seperti
magnesium stearat dapat menolak air, dan bila digunakan dalam jumlah yang besar
akan menurunkan pelarutan.
c.
Faktor fisiologis dan patologis
-
perbedaan spesies (enzim, biotransformasi, dan eliminasi terhadap obat)
-
variabilitas individu (umur, jenis kelamin, genetik, postur tubuh, gizi)
-
variabilitas patolgis (kelainan pada saluran cerna, ginjal, hati dan lain-lain)
BAB
IV. Biofarmasi Sediaan Yang Diberikan Melalui Oral
BAB
V. Biofarmasi Sediaan Yang Diberikan Melalui Rektum
BAB
VI. Biofarmasi Sediaan Yang Diberikan Melalui Kulit
BAB
VII. Biofarmasi Sediaan Yang Diberikan Melalui Mata
BAB VIII. Biofarmasi Sediaan Yang
Diberikan Melalui Paru-paru.
BAB IX. Biofarmasi Sediaan Yang
Diberikan Secara Parenteral.
BAB
X. EVALUASI KETERSEDIAANHAYATI SEDIAAN FARMASI.
Ketersediaanhayati adalah
suatu studi pengukuran seberapa
cepat dan seberapa banyak suatu obat diabsorbsi dalam darah setelah sejumlah dosis obat diberikan. Uji ketersediaanhayati ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas in
vivo sediaan-sediaan obat, yaitu dengan membandingkan ketersediaanhayati sediaan-sediaan generik, terhadap
sediaan-sediaan paten obat sejenis yang telah populer di pasaran dan diketahui
berkualitas baik. Secara lebih spesifik dalam uji ketersediaanhayati akan
dibandingkan parameter-parameter kadar obat maksimum (Cmax), waktu untuk mencapai kadar obat maksimum (tmax), dan luas daerah dibawah
kurva (AUC).
DOWNLOAD FILE PDF DISINI